Apakah itu?

Senin, 12 Juni 2017

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya, Pasal 43 ayat (1) hanya mengakui hubungan keperdataan anak di luar perkawinan dengan ibunya saja. Padahal, anak lahir pasti mempunyai ibu dan bapak. Artinya, seharusnya anak tidak saja memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, melainkan juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapak/keluarga bapak. Keberadaan hubungan keperdataan ini mendorong pemenuhan hak-hak anak oleh orang tuanya yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk itu, terlepas dari sah tidaknya perkawinan mereka menurut hukum negara.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa putusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sepanjang 2011, Komnas Perempuan menerima langsung pengaduan anak di luar perkawinan sebanyak 19 kasus, yaitu 12 kasus karena ibu menjadi korban kekerasan dalam pacaran, 2 kasus akibat perkosaan, 4 kasus akibat ibu terjebak dalam kejahatan perkawinan yang dilakukan suami yang masih terikat perkawinan lain, dan hanya satu kasus akibat perkawinan siri. Dari seluruh kasus yang diadukan, tidak satupun dari pelaku/laki-laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi anak yang dilahirkan. Sementara anak tumbuh dalam stigma sebagai anak haram, sang ibu/perempuan menanggung beban stigma masyarakat sebagai perempuan tidak baik/pezina dan beban orang tua tunggal yang menanggung seluruh biaya merawat anak. Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan/ibu.
Komnas Perempuan juga berpendapat bahwa putusan ini menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bentuk perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan. Sebagaimana pula disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, kewajiban pencatatan perkawinan juga penting dalam menghindari kecenderungan inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut, seperti praktik penelantaran istri dan anak, kawin kontrak, dan kawin siri sebagai cara untuk berpoligami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, putusan ini harus dimaknai bukan sebagai normalisasi, apalagi legitimasi, pada praktik inkonsistensi tersebut yang jelas berujung pada kekerasan terhadap perempuan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini juga mempunyai arti penting bagi pemenuhan hak konstitusional masyarakat penghayat kepercayaan. Sampai saat ini, meski telah ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat kepercayaan masih menghadapi hambatan mencatatkan perwakinannya yang diselenggarakan menurut kepercayaannya itu. Situasi serupa juga dihadapi oleh sejumlah kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi. Akibatnya, selama ini anak hanya dicatatkan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan pihak perempuan yang ada di dalam perkawinan ini juga tidak memperoleh perlindungan hukum.

Sabtu, 16 Juni 2012

Manfaat Menikah

Menikah adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan tujuan membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Fitrah ini dikhususkan kepada manusia karena manusia itu sendiri dilengkapi dengan rasa, cipta dan karsa sehingga pernikahan yang dilakukan dilandasi dengan rasa cinta. Berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain seperti halnya tumbuhan atau binatang. Mereka berpasangan tapi tidak dengan perasaan cinta melainkan nafsu. Dengan menikah berarti menyatukan perbedaan yang ada antara satu sama lain dan menjadikan hidup itu indah dan berwarna, tidak hidup seperti layaknya kertas putih tanpa ditulisi.
Seperti yang diutarakan oleh Ash-Shabuni, ada lima manfaat dari pernikahan yaitu:
Pertama, pernikahan merupakan jalan orang untuk melanjutkan keturunan.
Kedua, menikah bisa melindungi diri dari setan dan mencegah jeratan hawa nafsu yang jahat, sebab jika nafsu syahwat bergejolak maka akal maupun agama tidak mampu melawannya. Ketiga, menikah dapat menenangkan jiwa, menghibur dengan suasana rileks, serta menguatkannya untuk taat 
beribadah. Keempat, menikah dapat memberi ketenangan dan mengosongkan hati dari urusan pengaturan rumah tangga.
Kelima, dapat melatih orang untuk lebih bertanggung jawab kepada keluarga. Dan yang lebih penting adalah bahwa menikah merupakan bentuk jihad untuk mencapai tujuan ahir hidup, yaitu syurga.
Manfaat lainnya adalah manfaat kesehatan. Jika kita berpikir bahwa pernikahan adalah penjara bagi kebebasan dan membuat sakit jiwa, sebaiknya anda harus merubah pikiran itu. Karena pernikahan tidak hanya berupa penyatuan dua insan manusia, tetapi jauh lebih dari itu adalah manfaat besar terhadap kesehatan bagi yang melakukannya. Sebuah studi internasioal di Selandia baru menyimpulkan bahwa pernikahan sangat baik pengaruhnya terhadap kesehatan seseorang. Penelitian ini melibatkan 35.000 responden dari 15 negara. Menurut hasil studi yang dirilis di Jurnal Psychological Medicine Inggris, pernikahan mampu memberikan jaminan kesehatan mental baik sisi laki-laki mapun pihak perempuan. Selain itu, juga mengurangi risiko kemungkinan gangguan mental seperti depresi, kecemasan hingga penyalahgunaan zat seperti narkoba. Studi ini merupakan yang pertama di dunia yang langsung dipimpin Kate Scott dari Universitas of Otago. Para peniliti berdasarkan standar hasil survei dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) melakukan survei kesehatan mental ke sejumlah negara berkembang. Sebaliknya, ditemukan perpisahan, perceraian atau menjanda sangat berkaitan dengan peningkatan risiko gangguan kesehatan mental kedua belah pihak, baik laki-laki mapun perempuan. Khususnya penyalahgunaan zat bagi perempuan dan depresi untuk pria, kata Kate Scott dalam jurnal tersebut. Pada sisi negatifnya, penelitian menunjukkan bahwa mengakhiri perkawinan dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Bagi yang belum menikah segeralah menikah sebelum punah karena tidak memiliki keturunan.


Senin, 11 Juni 2012

Posisi Perempuan dalam Hukum Perkawinan di Indonesia

Dalam catatan sejarah kita, isu pembaruan hukum keluarga telah muncul sejak lama, sebelum kemerdekaan. Pada kongres Perempuan 1928, isu ini muncul karena banyaknya kasus yang menimpa kaum perempuan dalam kehidupan perkawinan. Seperti terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang dan mengabaikan hak-hak perempuan dan sebagainya.
Pada tahun 1937 pemerintah kolonial Belanda menyusun rancangan UU perkawinan modern yang disebut Ordonansi Pencatatan Perkawinan. Langkah ini diambil atas desakan kuat dari organisasi-organisasi perempuan yang ada saat itu. Ordonansi Pencatatan perkawinan ini berlaku untuk penduduk pribumi, Arab, dan Asia bukan Tionghoa, yang ada di Indonesia. Ordonansi ini menetapkan aturan monogami serta memberi hak cerai yang sama pada perempuan dan laki-laki. Walau ordonansi ini hanya berlaku bagi mereka yang memilih menncatatkan pernikahannya, akan tetapi ordonansi perkawinan yang berasaskan monogami ini ditolak oleh pemerintah RI.



Baca Selengkapnya...

 

Sosiologi Keluarga

Keluarga adalah salah satu kajian dari lembaga sosial. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari tentang lembaga keluarga dan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga. Keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama di lalui oleh seseorang karena keluarga merupakan lingkungan yang pertama kali dirasakan dalam suatu keluarga.
 
Copyright 2009 Selaksa Makna. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase